NUR AMIRA 19


Dari hari ke hari

Judul Buku              : Dari hari ke hari ( chapter 1 Jendela Tiada Berkaca )

Nama Penulis          : Mahbub Djunaidi

Penerbit Buku          : Diva Press

Tahun Terbit Buku   : maret 2018

Tebal halaman          : 244 halaman

ISBN                        : 978-602-391-514-9




Novel karya mahbub Djunaidi menceritakan tentang seorang pemuda yang berpindah di ibukota Jakarta bersama keluarganya . Melihat ibukota Jakarta dan semua kegaduhannya dibalik jendela yang tak memiliki kaca , yang bisa diartikan hanya rumah susun semata . Kehidupan Jakarta dengan riuh dia berbincang dengan ayah nya pada pagi hari
Berawal dari mata seorang bocah belasan tahun, makna revolusi mungkin belum dapat dipahami sepenuhnya. Ia juga belum tentu mengerti benar, mengapa negerinya selalu dilanda peperangan; entah perang melawan bangsa asing, entah perang sesama bangsa sendiri. Namun, yang jelas, ia tak mampu berbuat apa-apa dan hanya menurut, ketika ayahnya, Pak Djunaidi, harus hijrah keluar Jakarta. “Revolusi sudah pecah, ibukota pindah ke Yogya mengenai makna revolusi, karena ini barang baru, kalian nanti akan paham belakangan. Jawatanku sendiri pindah ke Solo, kenapa begini, sudah bukan urusan kita. “Begitulah Pak Djunaidi berpesan kepada seluruh anggota keluarganya. Kemudian esoknya, mereka pindah; meninggalkan Jakarta dengan kereta api yang akan membawa ke Solo. Dalam perjalanan, di antara hiruk-pikuk para penumpang, mereka sempat berkenalan dengan seorang lelaki gemuk yang pekerjaannya menjual ban mobil pada pemerintah republic yang baru berusia setahun itu. Ternyata, kemudian diketahui bahwa lelaki gemuk itu adalah seorang Raden Mas. “Siapa nama makhluk ini? Kubaca: Raden Mas X. astaga, betapa revolusi sudah merubah status seorang bangsawan menjadi pedagang ban mobil, berdesakan di atas kereta api, tersuruk-suruk ke kolong kursi, tertawa begitu kerasnya, beramah-tamah dengan hampir setiap orang” (hlm. 18). Di Solo, keluarga Muhammad Djunaidi tinggal di daerah Kauman walaupun tempat bekerjanya di Mahkamah Islam Tinggi, kantor induknya berada di Yogyakarta, ibukota republik Indonesia waktu itu. Anaknya, yang berumur sekitar 13-an tahun itu, mulai masuk sekolah kembali Selain bersekolah di sana, ia juga sekolah agama, di samping harus menjalankan kewajiban-kewajiban agama, sebagaimana yang dianjurkan ayahnya. Tentu saja, kegiatan bermainnya tak ketinggalan, seperti umumnya anak-anak seusianya. Pecahnya agresi Belanda yang disusul dengan disepakatinya Perjanjian Renville, ternyata sama sekali tidak membawa perbaikan pada nasib rakyat. Kekacauan dan terjadinya peperangan akibat pelanggaran gencatan senjata, masih kerap membuat keadaan makin tidak menentu. Maka, hilir-mudikya tentara yang memanggul senjata, tentara yang hijrah, penduduk yang mengungsi atau balik dari pengungsian, ibarat sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Begitu pula ketika tentara Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat dan datang ke daerah sekitar Yogyakarta, rakyat hanya menyambutnya dengan sorak-sorai atau melambai-lambaikan tangan. Pada saat yang demikian itulah, keluarga Muhammad Djunaidi kedatangan Sersan Husni, tentara dari Divisi Siliwangi, yang terpaksa ikut pasukannya meninggalkan Bandung. Sersan Husni pula yang merawat kakek si bocah di dalam pengungsiannya. Dari Sersan itu pula diketahui keganasan Westerling serta tentara Indo-Belanda-Turki yang kejam dan tak mengenal belas kasihan. Mereka melakukan pembunuhan massal di Sulawesi dan Jawa Barat. Bagi si bocah kecil itu, semua peristiwa yang didengarnya sama sekali tidak mengurangi kegiatan sekolahnya, mengaji atau bermain-main dengan teman sebayanya. Sampai bulan Agustus 1948, kehidupan keluarga Djunaidi, berjalan di antara hiruk-pikuk dan gema pertempuran, baik pertempuran melawan pasukan Belanda, maupun pertempuran yang terjadi di kalangan para pejuang Indonesia. Pada bulan Agustus 1948,untuk pertama kalinya diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional dengan pusat kegiatan di Stadion Sriwedari. Namun, pada bulan berikutnya, di Madiun terjadi pemberontakan PKI Muso. Front Demokrasi Rakyat melakukan penindasan, intimidasi, ancaman. “Hanya ada dua piliha: ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia yang merdeka tidak dijajah oleh Negara mana pun”.  Begitulah, dalam kebingungan, rakyat dibuat cemas dan takut karena PKI tidak hanya melakukan ancaman dan teror, tetapi juga penculikan dan pembunuhan. “Ponorogo diserbu batalyon Sobirin Muchtar, batalyon Sabaruddin menuju Dungus ke arah Madiun, Gubernur Militer, Kolonel Gatot Subroto, memerintahkan pasukan Siliwangi menghantam dari arah barat, batalyon Kosasih menuju Pati, batalyon Daeng bergerak ke Cepu dan Blora, batalyon Darsono dan batalyon Lucas langsung bergerak menuju jantungnya, Madiun”. Pemberontakan PKI akhirnya berhasil ditumpas. Amir Syarifuddin tertangkap di Pati, kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diadili. Pemberontakan itu makin membuat rakyat sengsara. Tiga tahun lamanya keluarga Djunaidi ikut menjadi saksi sejarah, betapa masa awal kemerdekaan negeri dilanda berbagai tantangan dan cobaan berat. “Saya lihat sendiri, pembunuhan di mana-mana". Demikian keterangan Sersan Husni yang ikut menumpas kekejaman para pemberontak PKI. Desember 1948, Belanda menjarah Yogyakarta. Bung Karno dan Bung Hatta tertangkap. Semua sekolah tutup. “Sekolahku sendiri, bukan sekadar tutup, melainkan runtuh berkeping-keping akibat bumi hangus". Demikian pengakuan anak Muhammad Djunaidi yang tak tahu harus berbuat apa karena kantor induknya di Yogya sekarang sudah dikuasai Belanda. Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja datang surat dari paman Pak Djunaidi, asisten wedana, yang tinggal di Jakarta. Asisten Wedana yang pro-Belanda itu, menyuruh agar Pak Djunaidi kembali ke Jakarta karena jawatan sosial akan mengurus segala sesuatunya. Sementara itu, di forum internasional, penangkapan Soekarno-Hatta, telah mendatangkan reaksi hebat berbagai Negara. Belanda dikecam habis-habisan. Hampir semua Negara mendesak agar kedaulatan Republik Indonesia dipulihkan. Keluarga Pak Djunaidi yang mendengar perkembangan terakhir mengenai keadaan negerinya, merasa sangat gembira, terlebih lagi ia sudah merencanakan untuk pulang kembali ke Jakarta. Di Jakarta, si bocah anak Muhammad Djunaidi, kembali masuk sekolah menengah pertama yang disebut sekolah “Republik”. “Tanpa sebuah tiang bendera, sekolah “Republik” itu tak ubahnya sebuah kandang ayam yang teramat besar. Seanteronya berlantai tanah, baik pekarangan maupun ruang kelas. Berdinding bilik, beratap daun nipah. Kakus numpang di rumah tetangga terdekat”. Tidak berapa lama kemudian, kakek si bocah menyusul datang ke Jakarta setelah melakukan pengungsian panjang, nyaris menyusuri sepanjang daerah selatan Jawa Barat. Kemudian, si kakek Muhammad Alwi datang bersama istri keduanya yang dikawininya di pengungsian. Istri pertamanya sendiri meninggal sebelum ia ikut mengungsi. Dalam pengungsian juga Muhammad alwi dirawat oleh Sersan Husni. Namun, Sersan Husni yang berniat menikah jika perang telah selesai, gugur diberondong peluru gerombolan DI/TII dalam perjalanan pulang ke Bandung. Sersan Husni selamat dari peluru Belanda, tetapi harus tewas di tangan bangsanya sendiri. Selepas ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar, keadaan nasib para pegawai negeri, termasuk Muhammad Djunaidi, mulai terlihat tanda-tanda membaik. Namun, keadaan itu tidak diikuti oleh keadaan kesehatan istrinya, ibu si bocah. Dalam usia yang belum begitu tua, 34 tahun, sakit parah wanita itu telah mengantarkannya ke pemakaman. Ia meninggalkan suami yang mengabdi kepada keluarga sebagai tanggung jawabnya, dan setia pada pekerjaannya sebagai pengabdiannya. Si bocah yang ditinggalkan ibunya, masih juga belum mengerti, mengapa nasib manusia tak dapat diduga. Hanya ia merasa, kini ia tidak lagi bocah. “Ingat, kau sekarang bukan anak-anak lagi.” Demikian pesan ayahnya. Pada saat itu, Agustus 1950, “Bendera Republik Kesatuan bersorak-sorak di tiangnya yang tinggi”  Dari Hari ke Hari merupakan judul novel karya Mahbub Djunaidi yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1975 oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Sebelum terbit, naskah novel itu pernah mendapat hadiah Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1974. Novel setebal 148 itu, menceritakan tentang pengalaman suatu keluarga di pengungsian pada tahun 1946—1948. Di dalam buku itu, mempunyai lima bagian cerita yang diberi judul "Jendela Tiada Berkaca", "Pohon Jambu yang Rimbun", "Kemarau", "Cintanya pada Kota", dan "Dari Hari ke Hari".
Dari hari ke hari ini menceritakan sebuah cerita sejarah penting Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer II. Novel yang mengandung nilai sejarah yang kental ini sangat unik karena sudut pandang dari cerita sejarah ini berasal dari bocah belasan tahun, yang mana seharusnya cerita ini suram bisa terbungkus lucu dari kaca mata si bocah ini. Kepolosannya dalam menghadapi dunia membuat novel ini sangat asyik untuk dibaca.
Dari Jendela ke Jendela, menceritakan babak awal Keluarga Djumaidi yang memutuskan untuk pindah dari Ibukota ke Yogya karena adanya “Revolusi”. Dari kaca mata si bocah yang masih belum paham arti revolusi sendiri sangat mengasyikkan. Pembaca diajak melihat bahwa sejarah tidak hanya selalu gelap. Cerita ini sangat menarik, karena berbeda dengan novel-novel yang ditulis penulis sebelumnya, ditambah penulis menulis novel ini yang merupakan novel satu satunya yang penulis tulis. Mengambil latar Indonesia pasca kemerdekaan, dengan berbagai gejolaknya, mulai dari dalam negeri hingga warga luar membuat pembaca turut belajar peristiwa peristiwa yang terjadi pada jaman tersebut. Novel yang mayoritas penulisannya membahas nilai-nilai sejarah, membuat para pembaca memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Kekurangan dari novel ini, banyak menggunakan metafora-metafora yang sangat sulit dipahami pembaca pemula. Alur cerita yang sedikit membingungkan, membuat para pembaca sedikit jengah untuk melanjutkan membaca

Komentar

  1. lavelia - 14

    Novel yang berjudul “Dari Hari ke Hari” ini menceritakan tentang seorang pemuda yang berpindah di Ibukota Jakarta bersama dengan keluarganya. Dari Hari ke Hari menceritakan tentang sejarah penting Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer II. Novel yang mengandung nilai sejarah yang cukup kental ini sangat unik karena sudut pandang dari cerita sejarah ini berasal dari bocah belasan tahun, yang seharusnya cerita ini suram bisa terbungkus lucu dari pandangan bocah ini. Kepolosannya dalam menghadapi dunia membuat novel ini sangat asyik untuk dibaca

    Kelebihan dari resume novel “Dari Hari ke Hari” yang dibuat oleh Nur Amira adalah bahasanya yang mudah untuk dipahami, serta penjelasan yang juga cukup mudah untuk dipahami.

    Serta kekurangan dari resume ini adalah ceritanya yang terlalu ber tele tele dan tidak to the poit.

    Untuk memperbaiki kekeurangan pada resume di atas adalah, menulis ulang resume dengan gaya penulisan yang lebih tertata, serta cerita yang tidak terlalu ber tele tele, atau dibuat lebih ringkas dan to the point.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BULAN AQEELA KYANDHINI 06