NABILAH QOTHRUNNADA 16
Kekuatan yang Tersembunyi
Judul Buku : Touche (Bab 1)
Nama Penulis : Windhy Puspitadewi
Penerbit Buku : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit Buku : 2017
Tebal halaman : 201 halaman
ISBN : 978-602-0303-63-5
Novel karya Windhy Puspitadewi ini
berisi cerpen yang diawali dengan prolog berisi bagaimana seorang tokoh utama
bernama Riska yang terpisah dengan orangtua nya, mama. Ia terpisah lantaran
terlalu asik memerhatikan mainan burung yang ada di salah satu penjual. Riska
pun hanya bisa menangis dan berhenti di bawah pohon. Ia terus menangis sampai
sarung tangan pemberian mama nya basah oleh air mata nya. Namun, datang lah
seorang anak laki-laki sebaya nya yang menghampiri nya dan tanpa berkata
apapun. Walaupun Riska bertanya tetap ia tidak menjawab. Akhirnya anak
laki-laki itu pun mengulurkan tangan, Riska mengikuti nya dengan rasa heran dan
bertanya-tanya. Benar saja, Riska menemukan mama nya sudah bersama dengan
polisi.
"Aku sudah tak tahan lagi,"
Dini terisak. "Mereka bertengkar terus tiap malam, aku jadi ingin kabur
saja dari rumah."
Sahabat-sahabatnya
langsung merangkul dan menghiburnya. Mereka menunjukkan wajah bersimpati, dua
di antaranya bahkan mengucapkan berbagai kalimat untuk menunjukkan mereka
mengerti perasaannya.
Riska
yang duduk tidak jauh dari meja mereka secara tak sengaja ikut mendengar
keluhan Dini. Sendaknya orangtuamu masih utuh, batinnya. Riska melirik jam
tangannya, lalu memutuskan untuk kembali ke kelas Jam istirahat sudah selesai,
dan anak-anak yang lain juga mulai meninggalkan kantin. Sial baginya, saat dia
melewati meja Dini, seorang anak lelaki menabraknya karena terburu-buru.
Karena
kehilangan keseimbangan, spontan Riska bertumpu pada apa pun atau siapa pun
yang ada di dekatnya.
"Kau
tak apa apa?" tanya Dini, matanya masih sembap dan suaranya masih serak.
Ternyata lengan Dini yang menjadi tumpuan Riska.
Riska
menelan ludah. Gawat!
Sesuatu
dari tangan tempatnya bertumpu mulai menjalan tubuh Riska. Dadanya sesak,
seolah dipenuhi air hingga ke pelupuk matanya. Tidak sampai sedetik kemudian,
air itu pun mengalir dari kedua sudur matanya.
"Kau
tak apa-apa?" tanya Dini lagi dengan panik diikut pandangan khawatir
teman-temannya yang lain. Riska menggeleng. "Aku tak sengaja mendengar
ceritamu tadi.
"Eh?"
"Aku
merasakan apa yang kaurasakan," Riska menatap kedua mata Dini Dini
tertegun "Kau pernah mengalami apa yang kualami.
"Aku
merasakan apa yang kaurasakan." Ulang Riska. Dini tidak mengatakan apa-apa,
tapi dia tampak terharu.
"Kamu
sudah makan, Ris?" tanya Mama begitu sampai di rumah
"Yup!"
Riska menyiapkan piring untuk Mama di meja makan.
"Ada
kejadian apa di sekolah?"
"Tidak
ada yang spesial, hanya saja aku terpaksa ikut me- rasakan seperti apa jika
orangtuaku bertengkar Mama meringis. "Lalu bagaimana rasanya?"
"Super"
jawab Riska. "Seharusnya ada yang merekamku dengan video dan memasukkan ke
Youtube, lalu aku akan mendunia!"
"Kau
berharap ada produser film yang menawari mu?" Mama langsung mengambil
beberapa sendok nasi. Riska menghela napas. "Tentu saja!"
Mama
tertawa.
"Rasanya
aneh. Padahal sejak kecil aku hanya punya Mama karena Papa sudah
meninggal." Riska duduk di se belah mamanya. "Tapi aku tahu bagaimana
rasanya jika orangtuaku bertengkar."
Mama
terdiam sesaat. "Kalau begitu anggap saja ini berkah." kata Mama.
"Ibaratnya, kamu bisa tahu bagaimana rasanya daging walau selama ini kamu
hanya makan sayuran. aneh."
Riska
mengerutkan kening.
"Mama
selalu membuat perumpamaan yang aneh."
“Tentu
saja, itu salah satu keahlian Mama," kata Mama sebelum memasukkan sesuap
nasi ke mulut.
Riska
tersenyum. Tidak ada rahasia antara dia dan mamanya karena mereka hanya punya
satu sama lain. Papa meninggal ketika Riska masih berumur lima tahun akibat
serangan jantung. Saat itu jugalah untuk pertama kalinya kemampuan Riska
disadari oleh mamanya.
Ketika
maupun setelah Papa meninggal, Mama tidak pernah menangis sedikit pun. Bahkan
dia selalu berusaha tersenyum. Anehnya. Riska selalu menangis setiap kali menyentuh
mamanya, apalagi Riska juga selalu menjawab "tidak tahu setiap kali
ditanya apa yang terjadi. Sampai akhirnya, setelah cukup lama didesak, dia mengatakan.
"Karena kata tanganku. Mama sedih." Saat itulah Mama sadar akan
kemampuan Riska. Anaknya yang saat itu baru ber umur lima tahun
mengungkapkan perasaan yang tidak b dia keluarkan sendiri. Anaknya menangis
untuknya. Sa satunya hal yang masih Riska ingat tentang kejadian sebel tahun
yang lalu itu hanyalah tangisan mamanya yang tun pah sambil memeluknya karena
Riska tidak pernah meliha hal seperti itu lagi hingga sekarang.
Pelajaran
olahraga adalah pelajaran yang paling dibenci Riska, apalagi jika olahraga yang
dilakukan berisiko ber sentuhan dengan orang lain seperti basket. Itu
penyiksaan tersendiri baginya. Walau begitu, setiap hal pasti ada pe
ngecualian. Dan hari ini, pengecualian itu adalah...
"Pelajaran
olahraga kali ini adalah...." Pak Robert mengumumkan, "lari 100
meter." Horeee sorak Riska dalam hari.
Sebagian
besar anak mengerang, tapi Riska tidak. Dia tersenyum lebar. Dia sangat suka
lari. Bahkan dia salah satu atlet kebanggaan klub atletik di sekolahnya.
Setidaknya, dia tidak perlu menyentuh siapa pun saat sedang berlari. Hanya ada
dia melawan rekornya sebelumnya.
"Sepertinya
kau senang," komentar Tari melihat wajah Riska "Tentu saja,"
Riska meregangkan otot. "Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada
melawan dirimu sendiri."
"Jangan
bilang kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu memang berasal dari
dirimu sendiri." Tari menyipitkan mata.
"Memangnya
kenapa?"
"Karena
aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kamu tidak mungkin sebijaksana
itu."
"Cih”
Tari
tertawa. "Oh iya, apa kamu sudah dengar bakal ada guru baru Guru pengganti
Bu Mitha. Katanya pernah kuliah di Amerika dan anak kenalannya kepala sekolah
kita. Kamu sudah dengar tentang hal itu?"
"Sudah,"
jawab Riska. "Darimu, baru saja."
"Aku
tersanjung, menjadi orang pertama yang memberi- tahumu."
"Memang
sudah seharusnya," Riska mengangguk. "Berterimakasihlah."
"Kadang-kadang
aku ingin memukul kepalamu," kata Tari kesal
"Kau
punya banyak kesempatan untuk itu."
"Aku
nggak nyangka guru barunya bakal sekeren ini," bisik Tari. "Kalau
begini, mendingan Bu Mitha melahirkan terus saja."
"Mungkin
kau lupa, Bu Mitha itu manusia," timpal Riska,
"Bukan
tikus." Tari terkikik
Sebenarnya,
dalam hati Riska sependapat dengan Tari Pak guru baru itu memang keren. Dia
tampak lebih muda daripada umurnya walau dia berkacamata. Gaya berpakaian nya
bagus, mungkin pengaruh budaya luar tempat katanya dia pernah tinggal.
Tatapannya reduh dan cara bicaranya juga menyenangkan. Sepertinya orangnya
periang.
"Oke,"
kata guru baru itu setelah memperkenalkan diri dengan nama Yunus King.
"Let's start the lesson!" "Seperti Bu Mitha," dia
melanjutkan dengan logat asing
"Saya
akan memberi kebebasan seluas-luasnya untuk kalian berekspresi. Tidak ada benar
dan salah ataupun baik dan jelek di sini." Pak Yunus mengambil biola,
memandangi dan menyentuh- nya selama beberapa saat, lalu mulai memainkan lagu.
Ke- lembutan dan ketegasan gesekannya berada pada tempo yang tepat. Jika
diibaratkan, gaya permainannya mungkin seperti tinjunya Muhammad Ali: float
like a butterfly and sting like a bee alias melayang seperti kupu-kupu dan me
nyengar seperti lebah
Semua
murid memejamkan mata mencoba menikmatinya. Beethoven's Symphony No. 7. Begitu
Pak Yunus selesai, semua anak bertepuk tangan.
"Thank
you," kata Pak Yunus. "Jangan terintimidasi de- ngan apa yang baru
saja saya mainkan. Permainan yang bagus bukan berasal dari skill. Permainan
yang bagus berasal dan feel, dari perasaan. Music adalah tentang bagaimana kita
menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.” Pandangan Pak Yunus menyapu
semua anak, lalu berhenti pada Riska. Kali ini dia tersenyum.
"Kita
disebut berhasil memainkan musik jika orang yang mendengar permainan musik kita
dapat merasakan apa yang kita rasakan," katanya. "Without touching,
tanpa menyentuh kita”
EH?
DIA TAHU? Riska menelan ludah.
Awalan
yang menarik bagi sebuah novel yang akan selalu membuat penasaran pembaca nya.
Hanya sampai sini bab 1 bercerita, kisah selanjutnya dapat di baca pada buku
ini.
Komentar
Posting Komentar