AZAHRA RAHMANIA SALSABILA 04
KELUARGA CEMARA 1
Judul Buku : Keluarga
Cemara 1 (Chapter 1 dan Chapter 2)
Nama Penulis : Arswendo
Atmowibowo
Penerbit Buku : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit buku : 2013
Tebal Halaman : 288 halaman
ISBN :
9789792292633
Novel karya Arswendo Atmowiloto menceritakan suatu keluarga,
Euis, 12 tahun, paling sering membantu. Euis pulalah yang berjualan keliling menjajakan opak.Mungkin karena lebih banyak waktunya untuk menjajakan opak dibanding belajar, Euis masin duduk di kelas empat. Pagi itu Euis membangunkan Cemara. Adik perempuannya ini, hari ini akan mulai masuk sekolah. Ini hari pertama Cemara masuk sekolah. Kelas nol kecil. Semalam sudah diberi tahu untuk bangun pagi-pagi.
Pagi itu Cemara mau bangun pagi. Mau dimandikan di sumur yang terletak agak jauh di belakang. Biasanya mash tidur berdesakan dengan Agil, adik yang terkecil. Setelah mandi, bersisir dan dibedaki - hal yang paling tidak disenangi oleh Cemara, Euis memasangkan rok baru. Rok itu dulu milik Euis, yang dibelikan Ema waktu Natal. Rok itu jarang. sekali dipakai. Hanya untuk keperluan penting. Dan Euis hanya sedikit sekali mempunyai keperluan penting. Paling hanya ke gereja sekali seminggu. Akan tetapi Euis merasa sayang untuk memakai rok biru tiap minggu. Akhirnya rok itu lebih banyak disimpan. Kadang disimpan di bawah bantal. Tahu-tahu, setelah sekian tahun, rok itu terlalu sempit. Bagi Cemara mash terlalu longgar. Akan tetapi kemudian diakali di. tukang jahit Ceuk Suleha. Di sana rok itu digunting, dipaskan untuk Cemara. Hanya itu alasan utama kenapa Cemara mau sekolah. Rok baru model Cinderella!
Hari itu, pagi pertama kali Cemara ke sekolah.Euis mengantarkan sambil membawa dagangannya. Opak yang dibungkus plastik. Dalam bungkusan plastik itu opaknya disusun.Biasanya, Euis mengedarkan camilan, atau makanan ringan untuk nyamikan ini ke pasar, atau dekat terminal.Dari sana, tapa mandi lebih dahulu, Euis berangkat ke sekolah.
Namun pagi ini, pagi pertama Cemara masuk sekolah. Jadi Euis mengantarkan adiknya lebih dulu.Sebenarnya pemandangan pagi di daerah Indihiang sangat menarik. Embun segar, suasana pedesaan yang teduh, lembut dan banyak dirindukan orang kota. Indihiang adalah suatu desa dekat Tasikmalaya, di daerah Jawa Barat. Alamnya mempesona.
Euis yang tak mempunyai kesempatan buat menikmati pemandangan itu. Kakinya selalu tergesa untuk mengedarkan dagangan. Untuk ke sekolah, pulang, membantu Ema.Ketika mereka berdua sampai, di sekolah sudah penuh.Sepagi ini sekolah sudah penuh! Anak-anak yang baru masuk, semua diantarkan. Ada yang diantarkan ibunya, kakaknya, atau ibu dan kakak serta ayahnya sekaligus. Cemara maju ke depan, ketika namanya dipanggil.Dikumpulkan dalam satu ruangan.Ibu-ibu dan pengantar berada di pinggir. Masih ada anak yang minta digendong terus.Euis mengawasi dari jendela.Cemara cuci tangan. Diantar Ibu Maria. Diajari bagaimana mencuci. Seluruh anak kelas nol kecil cuci tangan. Ada yang diantar ibunya. Kemudian kembali ke tempat duduk.
Di sebelah Cemara membawa roti dan telor ayam. Sebelah kanan juga membawa kue, wafer serta kembang gula. Ada juga yang membawa makanan dibungkus daun pisang, ada yang membawa teh botol.Cemara memandang sekeliling.la tak membawa apa-apa. Tas sekolahnya adalah tas plastik yang mash bagus. Yang dulu disimpan Ema ketika belanja di Tasikmalaya. Di sanalah tas itu diperoleh, hadiah dari sebuah toko.Ibu Maria menoleh ke arah Cemara. Mendekati hingga dekat sekali.
"Mana rotimu, Ara?" Ara menggeleng.
"Kamu tidak bawa?"
"Saya tidak pernah sarapan roti."
"'O."
Euis membuka plastik. Mengambil dua opak, sebesar topi bayi.
"Ini," katanya dari jendela. "Tadi lupa."
Pembantu Ibu Maria meletakkan di meja.
Ara menolak.
"Itu dagangan. Ema nanti marah.
"Tidak," teriak Euis dari jendela.
"Ema tidak marah?"
"Tidak, tapi kamu makan satu saja ya?"
Seorang ibu memberikan roti ke Cemara. Akan tetapi Cemara menggelengkan kepalanya.
"Abah tidak suka," kata Cemara.
"Baiklah," Ibu Maria menghela nafas.
Di lapangan sebelah pasar, ada
rombongan komidi putar. Payung
yang dipergunakan sebagai atap pelin. dung dari spanduk-spanduk yang dijahit.
Tulisan-nya sebagian mash bisa dibaca. Malah bagian yang lebar dijahitkan dari
poster bioskop. Meriah
warnanya.
Akan
tetapi yang menarik perhatian pertama kali bukan payung. Melainkan suara lagu
dangdut dari gitar listrik yang memakai aki. Lagu itu dimainkan oleh rombongan
komidi putar. Mereka terdiri dari lima atau enam lelaki dan dua perempuan. Ada
juga bayi yang diajak serta. Kelima lelaki itu gantian pekerjaan. Mereka main
gitar, menyanyi, memukul ketipung, gendang kecil, atau memain-kan ecek-ecek.
Ecek-ecek berbentuk lingkaran, berlubang di tengah, di pinggiran lingkaran ada
kepingan aluminium yang bisa digerakkan me-nimbulkan bunyi ecek-ecek. Itulah
sebabnya dinamakan seperti bunyinya. Sedang seorang lagi memainkan bas, yang
dibuat dari kotak sabun, dan senarnya dari sayatan ban sepeda.
Lagu yang dimainkan mengiringi
putaran komidi.
Satu
lagu satu putaran. Anak-anak yang naik komidi putar harus berebut untuk
menemukan tempat. Soalnya komidi putar itu hanya memuat sepuluh tempat duduk
yang digantungkan di tiang melintang. Tempat duduk itu dibuat dari kayu murah,
dicat, dulunya, merah darah. Ada yang dibentuk kuda dan ada yang dibentuk
seperti pesawat terbang. Setiap tempat duduk bisa menampung tiga penumpang.
Kalau ada anak kecil di bawah satu tahun bisa dipangku. Biasanya anak lelaki
memilih naik kuda atau pesawat terbang, karena mereka lebih berani. Yang
dinamakan kuda dan pesawat terbang hanya bentuknya mengarah seperti itu. Selebihnya
papan biasa. Toh yang naik pesawat terbang hanya duduk di sayap, kiri dan
kanan. Pegangan-nya di tengah. Ini lain dengan yang berbentuk kursi. Penumpang
yang ini bisa bersandar dan pegangannya ada di kiri dan di kanan. Jadi lebih
aman.
Baik yang duduk di pesawat terbang, kuda, atau kursi
ongkosnya sekali putar sepuluh rupiah.
Yang memutar adalah lelaki yang tidak main alat musik.
Mereka ini mendorong tempat duduk sekuat tenaga. Tempat duduk ini berputar,
dengan poros tiang utama. Makin keras didorong, makin kencang putarannya.
Akan tetapi bila terlalu kencang, lelaki itu akan
meloncat, bergayutan dan berusaha menahan.
Euis ingin sekali naik. Semua teman telah bercerita bahwa
mereka pernah naik tiga atau empat kali. Hari pertama komidi itu berputar di
lapangan, Euis masih bisa memalingkan wajah.
Hari kedua, ketika ia lewat sambil membawa dagangan,
hatinya mulai tergoda. Hari ketiga ia benar-benar menjajal.
"Sepuluh rupiah tidak banyak. Asal opak ini semua
laku," Euis memandang sedih ke arah dagangannya.
Tapi mana ada orang memborong semua yang dibawa?
Dalam mimpi saja rasanya susah!
Euis selalu mendengar karena daerah penjualan-nya di
sekitar pasar. Setiap kali mendengar lagu dari pengeras suara yang sember,
setiap kali khayalnya ikut berputar, melambung bersama ayunan komidi,
berdesakan. Kadang malah di-bayangkan dirinya datang diantarkan Abah dan Ema.
Seperti anak-anak yang lain diantarkan ayah dan ibunya. Lalu disuruh naik
komidi putar sepuasnya! Sampai pusing. Sudah itu membeli es, kue. Ya es dan kue
dan bukan opak! Ui, alangkah senangnya. Alangkah gembiranya!
Tapi siapa yang akan mengantarkan?
Abah selalu sibuk. Ema begitu juga. Menyiapkan dagangan,
mengatur pekerjaan rumah. Ah, dirinya sendiri juga sibuk.
Walaupun tidak naik, Euis suka berdiri dekat komidi
putar. Suka tertawa, ikut bertepuk. Suka melihat anak-anak yang naik, yang
menjulurkan kakinya. Sengaja agar menabrak yang menonton.
Euis suka berdiri di situ, karena kadang ada anak yang
membeli opakya!
Seperti sekarang ini. Euis berdiri, mengawasi dan
membayangkan dirinya akan naik pada giliran
berikutnya.
"Kamu mau naik?"
Seseorang bertanya. Seorang Ibu muda yang cantik. Euis
segera bisa mengenali dari pakaian-nya yang berbeda dengan pakain anak-anak kampung.
"Abdi?"
"Ya, kamu mau naik?"
"Mau? Ya, mau sekali."
"Naiklah. Aceuk yang bayar."
Euis bulat matanya. Nafasnya seperti mengalir lewat jalan
lain. Aceuk yang mana ini? Kenal tidak.
Melihat baru sekali. Bukan langganan yang bisa beli opak
pula! Kenapa begitu baik?
"Mau?"
"Mau!"
Euis tidak menyia-nyiakan kesempatan. Daga-ngannya
diletakkan di tempat yang aman. Yang bisa diawasi. Aceuk yang baik itu
mengambil seorang anak kecil, seusia Agil. Kurang dari dua tahun. Anak itu
tadinya digendong pembantu.
Ih, Aceuk ini banyak duit. Begitu saja sama pembantu.
Euis tahu. Bahwa ia dibayari karena ia harus menjagai
anak aceuk ini. Sudah barang tentu, aceuk ini malu naik komidi putar. Tentu
saja malu.
Bajunya, dandanan rambutnya, tidak cocok
dengan komidi putar. Bahkan kalau bisa berada di dekat
komidi putar pun malu. Aceuk seperti ini lebih cocok di Taman Mini, atau Taman
Ria, atau main di tempat mainan elektronis!
Euis sigap. Begitu satu lagu berhenti, secepat itu pula
ia menangkap salah satu kursi. Belum berhenti sepenuhnya, Euis sudah duduk di
situ.
Mengalahkan yang lain.
Aceuk itu menyerahkan anaknya. Euis memang-ku erat
sekali.
"Pegangan ya, Sayang."
"'Ya," jawab Euis. Baru la sadar bahwa sayang
itu tidak diucapkan untuknya. Melainkan untur anak kecil yang dipangku.
Aceuk itu meyakinkan pegangan Euis sekali lagi.
Lalu memberikan duit. Dua puluh rupiah.
Aba-aba persiapan dimulai. Lalu terdengar sepotong lagu.
Komidi berputar. Makin kencang, seiring dengan lagu yang liriknya dibikin
sendiri oleh penyanyinya.
Mama, mama minta duit buat naik komidi putar
Mama, mama minta duit daripada main di ialan
Tak ada tiga menit. Lagu selesai. Komidi berhenti. Anak
kecil di pangkuan Euis minta lagi.
Aceuk memberikan duit lagi. Euis hanya memberi-kan lima
belas rupiah. Petugas yang menariki duit, tidak memprotes. Memang biasa begitu
kalau naik kedua kalinya.
Ternyata si anak kecil minta naik empat kali.
Seperti dalam mimpi Euis, aceuk itu meluluskan semua
permintaan. Bahkan kemudian setelah turun, aceuk itu memberikan lima puluh
rupiah padanya.
Nuhun, ceuk.
Begitu menerima duit, Euis teringat Agil.
Adiknya itu juga sangat ingin naik komidi putar.
Sekarang saatnya! Duit lima puluhan dimasukkan
saku.
Euis bagai terbang. Dagangannya dibawa, kakinya berlari
kencang. Sekencang tenaganya. Melewati pasar, menerobos toko-toko, mengambi
jalan pintas, langsung ke rumah.
"Agil! Agil."
Edis berlari ke belakang. "Agill Ayo naik komidi
putar."
Agil berteriak kegirangan. Euis menggendong berialan
secepatnya ke dekat pasar.
Komidi masih berputar.
Ketika itulah Euis sadar bahwa uang lima puluhan yang
tadi dimasukkan ke saku, jatuh entah di mana. Ya, tadi berlari begitu kencang!
Harusnya uang itu digulung dalam sapu tangan yang diikat
erat! Bukan dimasukkan ke saku! Ema selalu berpesan begitu.
"Gil. Turun lagi."
"Alim" Agil menolak.
"Duitnya jatuh.
"Nggak mau.
..
Euis memaksa Agil turun.
Tempat duduknya segera ditempati orang lain.
Agil menangis, merengek. Ah, aceuk yang baik hati itu
tidak ada. Sudah pergi entah ke mana. Tak ada orang lain yang ingin anaknya
dipangkukan seperti aceuk tadi. Tak ada siapa-siapa yang bakalan begitu baik
lagi.
Agil masih merengek.
"Agil, sekarang kita lihat saja. Besok kita naik
ya?"
Agil tetap merengek.
"Sekarang digendong dulu ya? Yah?"
"Alim
'Sebab kalau Agil naik harus berdua. Bayarnya dua puluh
rupiah. Besok, kalau opaknya laku semua, Agil naik ya?"
Agil mash menangis. Diturunkan dengan paksa. Komidi mash terus
berputar. Lagu demi lagu. Kompak dan mengajak.
Mama, mama minta duit
buat naik komidi putar.
malika yahya/15
BalasHapuskelebihan: patut dikatakan bahwa Keluarga Cemara adalah sebuah hiburan yang utuh untuk dinikmati sekeluarga saat akhir pekan. Naskah yang ditulis oleh Gina S Noer ini sangat mengharukan dan menyentuh hati
kekurangan:da beberapa hal yang butuh penjelasan lebih lanjut karena terabaikan hingga akhir